Part 32-Meninggalkan, Ditinggalkan


Pernahkah kamu menanti seseorang
yang kamu tak tau apakah akan datang padamu atau setia pada dunianya,
namun kamu tak beranjak dari tempatmu dengan harapan yang selalu sama?
aku pernah
Aku adalah manusia yang kehilangan akal sehatnya ketika memilih untuk tetap bersama dia yang tak pasti akan ada. Dia yang datang, pergi, menghilang, datang lagi, Afan. Tidak berarti Kak Reza bukanlah pilihan. Dirinya pun terasa sayang untuk begitu saja aku lewatkan. Tak pernah terpikirkan untuk menyingkirkannya dari kehidupan. Namun bagaimanapun, pilihan-pilihan selalu dengan manis tersajikan.
Terjebak di dua hati yang tak pasti. Tapi kini semua mulai membuka diri. Semenjak dekat dengan Afan, Kak Reza mulai tersingkirkan. Berbalas pesan sudah bukan lagi jadi kebutuhan. Hanya Afan yang bisa bikin aku kecanduan sms-an. Gelagat yang tak biasa mulai terbaca oleh Kak Reza. Dia menebak ada seseorang lain di kepala, dan bukan dia orangnya. Tebakan tepat! Mau tak mau aku mengakuinya.
Kak Reza memang kecewa. Ia merasa terlambat mengungkapkan isi hatinya. Dengan keberanian yang mungkin masih tersisa di dada, malam itu, malam terakhir aku mendengar suaranya via udara, dia biarkan aku melongok ke dalam hatinya, melihat ada apa di sana. Tak ada rayuan, hanya ucapan tanpa nada ceria bahwa ia memang cinta, pada wanita yang selama ini hadir di mimpinya, mengisi kekosongan nafasnya, aku.
Tak tau harus berkata apa, sekian detik aku diam tak bicara. Pun dia tak menuntut jawaban apa-apa. Cukup baginya aku tau yang sebenarnya. Bahwa aku inilah wanita yang dicintainya, yang ingin ia jaga semampunya. Tak ingin menyakitinya, aku bilang saja, aku nyaman dekat dia, dia membuatku merasa punya seorang kakak. Aku memang anak sulung dari dua bersaudara. Sejak kecil aku biasa dimanja, walau dengan kehadiran seorang adik laki-laki yang jarak usianya jauh, sampai sekarangpun aku masih begitu. Selalu ingin dapat perhatian penuh. Dan dari dia aku bisa mendapatkan itu semua. Aku sudah berhasil membuatnya mengerti, bahwa apa yang ada di dalam sini bukan cinta seperti yang ada dihatinya. Iya, ini memang bukan cinta ku memaknainya, tapi rasa nyaman ketika memiliki seseorang yang bisa membuatmu merasa terjaga dari keruhnya dunia. Pada akhirnya, hatiku telah memilih siapa yang diingininya.
Seperti yang kubilang di awal, aku adalah manusia yang kehilangan akal sehatnya. Melepaskan diri dari Kak Reza memang bukan keputusan yang bijak luar biasa. Rasa bersalah pastilah tetap ada. Aku telah melukainya. Tuhan, ceroboh sekali makhlukMu yang satu ini?
Aku memang memilih Afan sebagai sandaran. Kehadirannya mampu melelehkan kebekuan. Dia bisa membuatku nyaman. Kenyamanan yang buatku lupa pada kesalahan-kesalahan masa lalunya. Lupa itulah yang akhirnya membuatku celaka.
“Dalam perjalanan, kita telah sama-sama mengerti apa arti dari setiap tatapan yang tak pernah bisa menyembunyikan kebohongan. Meski kita telah juga sama-sama menelusuri jejak setapak yang ditumbuhi semak-semak luka. Pada akhirnya, aku harus tau, kita harus mengerti bahwa kini kita memisahkan langkah sendiri-sendiri. Aku dengan diriku, dan kamu dengan dirimu.
Tapi sialnya, mengapa aku harus bertemu kamu? Entah takdir atau kebetulan yang menyusun skenario macam itu. Aku tak mau berlebihan dengan banyak menyisipkan harapan di sela-sela takdir yang mungkin tak disengaja untuk jadi nyata. Aku cukup paham bagaimana harusnya mendaratkan impian. Meski memang harus tak sejalan dengan tuntutan perasaan. Jujur aku senang.
Waktu seperti mobil formula 1. Lajunya cepat menderu ditengah kebisingan segala hal yang ambigu. Tapi nyatanya kamu di sisiku. Apalagi yang harus membuatku menganggapnya ambigu? Yang kutau, kamu sekarang bersamaku. Tanpa tau sampai kapan senyum ini kan jadi milikku.
Kita seperti tengah berlayar. Kamu dan aku adalah nahkoda. Meski tak pernah kita bicarakan kemana perjalanan ini kan menemukan akhirnya. Tapi kita seperti berjanji untuk tetap mengayuhnya dengan cara yang sama dan ritme seirama.
Sampai dalam pusaran segitiga bermuda yang terkenal akan keangkerannya, kapal kita berguncang. Meski telah membangunnya setegar karang, tapi tetap saja ganasnya gelombang tak akan kehabisan akal untuk melumpuhkan. Hujan turun, sesuatu yang dingin memanggil-manggil namamu. Dialah masa lalu. Yang pernah mengikatmu juga dalam janji yang hampir sama, yang telah kamu tinggalkan dalam kesendirian dan kehampaan.
Aku tak mau mengikatmu lama-lama dalam dilema. Kuputuskan menyuruhmu pulang saja. Ke tempatnya. Kubiarkan hatiku berlayar sendirian tanpa tujuan. Biar saja nanti saat telah lelah ia kan memilih pulau terakhirnya.
Meski harapanku tetap sama. Layarku mengubah haluannya, arah tujunya telah berbeda. Waktunya memenjarakan diri dari segala rasa yang mereka sebut cinta. Anggap aku tak lagi percaya tentangnya. Dia memang telah berbeda.”
Ya, aku telah merelakan Afan memilih apa yang ia inginkan. Ia memilih masa lalunya ketika apa yang pernah ia tinggalkan kembali untuk menyuguhkan kebahagiaan. Mungkin aku tak lebih dari sekedar persinggahan saat ia merasa lelah dengan kehampaan. 
Dan kini, setelah meninggalkan, ditinggalkan, aku memilih untuk kembali jadi sendirian. Menyusun kepingan hati yang hancur tak karuan. Berusaha menemukan kebahagiaan yang terasa makin jauh dari jangkauan.

-Vanilla Latte 

0 Response to "Part 32-Meninggalkan, Ditinggalkan"

Post a Comment